Hidup harus dijalani dengan Ikhlas.
Kaya... kujalani.
Miskin... juga kujalani.
Senang... kujalani.
Susah... juga kujalani.
Jadi, kenapa tidak menjalaninya dengan senyuman?
Glitter Graphics

Senin, 29 Maret 2010

Surat Untuk mu... (balasan untuk ibu)

(ada baiknya baca dulu note sebelumnya...)


oleh:ustd armen halim naro


Kepada yang tercinta
Bundaku yang ku sayang

Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga. Shalawat serta salam, hamba yang lemah ini panjatkan keharibaan Nabi yang mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…

Ibu… aku terima suratmu yang engkau tulis dengan tetesan air mata dan duka, dan aku telah membacanya, ya aku telah mengejanya kata demi kata… tidak ada satu huruf pun yang aku terlewatkan.

Tahukah engkau, wahai Ibu, bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’ dan baru selesai membacanya setelah ayam berkokok, fajar telah terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan?! Sebenarnyalah surat yang engkau tulis tersebut jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah, sekiranya diletakkan ke atas daun yang hijau tentu dia akan kering. Sebenarnyalah surat yang engkau tulis tersebut tidak tersudu oleh itik dan tidak tertelan oleh ayam. Sebenarnyalah bahwa suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan… bagaikan awan kaum Tsamud yang datang berarak yang telah siap dimuntahkan kepadaku…

Ibu…

Aku baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!! Bagaimana tidak, sekiranya surat itu ditulis oleh orang yang bukan ibu dan ditujukan pula bukan kepadaku, layaklah orang mempunyai hati yang keras ketika membaca surat itu menangis sejadi-jadinya. Bagaimana kiranya yang menulis itu adalah bunda dan surat itu ditujukan untuk diriku sendiri!!

Aku sering membaca kisah dan cerita sedih, tidak terasa bantal yang dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata, aku juga sering menangis melihat tangisnya anak yatim atau menitikkan air mata melihat sengsaranya hidup si miskin. Aku acap kali tersentuh dengan suasana yang haru dan keadaan yang memilukan, bahkan pada binatang sekalipun. Bagaimana pula dengan surat yang ibu tulis itu!? Ratapan yang bukan ibu karang atau sebuah drama yang ibu perankan?! Akan tetapi dia adalah sebuah kenyataan…

Bunda yang kusayangi…

Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua yang engkau telah sebutkan benar adanya. Aku masih ingat ketika engkau ditinggal ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang belanja, jadilah engkau mencari apa yang dapat dimasak di sekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan. Dengan jalan berat engkau melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau membisikkan kepada penjual bahwa apa yang engkau ambil tersebut sebagai hutang dan hendaklah dicatat dulu. Hutang yang engkau sendiri tidak tahu kapan engkau akan dapat melunasinya.

Ibu… aku masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yang telah lama engkau jemur dan keringkan, tidak jarang pula engkau simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dengan segera. Atau aku masih ingat, engkau sengaja mengambilkan air didih dari nasi yang sedang dimasak, ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.

Ibu… maafkanlah anakmu ini, aku tahu bahwa semenjak engkau gadis sebagaimana yang diceritakan oleh nenek sampai engkau telah tua sekarang, engkau belum pernah mengecap kebahagiaan. Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dengan anak-anakmu. Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia kecuali ketika kami anak-anakmu datang ziarah kepadamu. Selain dari itu tidak ada kebahagiaan, hari-harimu adalah perjuangan. Semua hidupmu hanya pengorbanan.

Ibu…

Maafkan aku anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri, wanita yang telah engkau puji sifat dan akhlaknya, yang engkau telah sanjung pula suku dan negerinya!! Engkau katakan ketika itu padaku, “Ambilah ia sebagai istrimu, gadis yang pemalu yang pandai bergaul, cantik dan berakhlak mulia, punya hasab dan nasab!.”

Semenjak itu pula aku seakan-akan lupa denganmu. Keberadaan dia sebagai istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku, senyuman dan sapaannya telah membuatku terlena dengan sapaan dan himbauanmu.

Ibu… aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena ia telah menunaikan kewajibannya sebagai istri, terutama perhatiannya dalam berbakti kepadamu, sudah berapa kali ia memintaku untuk menyediakan waktu untuk menziarahimu. Hari yang lalu ia telah buatkan makanan buatmu, akan tetapi aku tidak punya waktu mengantarkannya, hingga makanan itu telah menjadi basi…

Aku berharap pada permasalahan ini engkau tidak membawa-bawa namanya dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya. Karena selama ini, di mataku dia adalah istri yang baik, istri yang telah berupaya banyak untuk kebahagiaan rumah tangganya.

Ibu…

Ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, maka seolah-olah dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka atau orang-orangan. Sekali lagi maafkan aku! Aku tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada padaku.. anakmu ini!! Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang kualami, perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah dan perubahan jiwa ketika aku tidak hanya mengenal dirimu, tapi kini aku telah mengenal satu wanita lagi.

Ibu… perkawinanku membuatku masuk ke dunia baru, dunia yang selama ini tidak pernah kukenal, dunia yang hanya ada aku, istri dan anakku!! Bagaimana tidak, istri yang baik dan anak-anak yang lucu-lucu!! Maafkan aku Ibu… aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dengan keadaan orang lain, yang penting bagiku adalah keadaan mereka.

Ibu…

Maafkan aku, anakmu!! Aku telah lalai… aku telah lupa… aku telah menyia-nyiakanmu!! Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan untuk cinta kepada anaknya, dan anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya. Oleh sebab itu dilarang mencintai anak secara berlebihan dan anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya.

Itulah yang terjadi pada diriku, wahai Ibu!! Aku seperti orang linglung ketika melihat anakku sakit, aku seperti orang kebingungan ketika melihat anakku diare. Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi padamu atau pada ayah!!

Ibu…

Sulit aku merasakan perasaanmu!! Kalaulah bukan karena bimbingan agama yang telah lama engkau talqinkan kepadaku, tentu aku telah seperti kebanyakan anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya!! Kalaulah bukan karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayah, niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.

Setelah suratmu datang, baru aku mengerti!! Karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahan berat yang engkau hadapi selama ini.

Sekarang baru aku mengerti, bahwa hari yang sulit bagi seorang ibu, adalah hari di mana anaknya telah menikah dengan seorang wanita. Di matanya wanita yang telah mendampingi putranya itu adalah manusia yang paling beruntung.

Bagaimana tidak!! Dia dapatkan seorang laki-laki yang telah matang pribadi dan matang ekonomi dari seorang ibu yang telah letih membesarkannya. Dengan detak jantungnya ia peroleh kematangan jiwa dan dari uang ibu itu pula ia dapatkan kematangan ekonomi. Sekarang dengan ikhlas dia berikan kepada seorang wanita yang tidak ada hubungannya, kecuali hubungan dua wanita yang saling berebut perhatian seorang laik-laki. Laki-laki sebagai anak dari ibunya dan ia sebagai suami dari istrinya.

Ibuku sayang…

Maafkan aku Ibu!! Ampunkan diriku. Satu tetesan air matamu adalah lautan api bagiku. Janganlah engkau menangis lagi, jangan engkau berduka lagi!! Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka!! Aku takut Ibu… aku cemas dengan banyaknya dosaku kepada Allah sekarang bertambah pula dengan dosaku terhadapmu. Dengan apa aku ridho Allah, sekiranya engkau tidak meridhoiku. Apa gunanya semua kebaikan sekiranya di matamu aku tidak punya kebaikan!! Bukankah ridho Allah tergantung dengan ridhomu dan sebaliknya bukankah kemurkaan Allah tergantung dengan kemurkaanmu!! Tahukah engkau Ibu, seburuk-buruknya diriku, aku masih merasakan takut kepada murka Allah!! Apalah jadinya hidup jika hidup penuh dengan murka dan laknat serta jauh dari berkah dan nikmat.

Kalau akan murka itu pula yang aku peroleh, izinkan aku membuang semua kebahagiaanku selama ini, demi hanya untuk dapat menyeka air matamu! Kalau akan engkau pula murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa segala yang aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau, mau engkau perbuat apa?!

Sungguh aku tidak mau masuk neraka! Seakalipun -wahai Bunda- aku memiliki kekuasaan seluas kekuasaan Firaun, mempunyai kekayaan sebanyak kekayaan Qarun dan mempunyai keahlian setinggi ilmu Haman. Pastikan wahai Bunda tidak akan aku tukar dengan kesengsaraan di akherat sekalipun sesaat. Siapa pula yang tahan dengan azab neraka, wahai Bunda!!

Ibu maafkan anakmu!! Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan kepada Allah ta’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke langit!! Maka, ampun, wahai Ibu!! Aku angkat seluruh jemariku dan sebelas dengan kepala untuk mohon maaf kepadamu!! Kalaulah itu yang terjadi, do’a itu tersampaikan! Salah ucap pula lisanmu!! Apalah jadinya nanti diriku!! Tentu kebinasaan yang telak. Tentu diriku akan menjadi tunggul yang tumbang disambar petir, apalah gunanya kemegahan sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yang tidak berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula!!

Kalaulah do’amu terucap atasku, wahai Ibu!! maka, tidak ada lagi gunanya hidup, tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan.

Ibu dalam sejarah anak manusia yang kubaca, tidak ada yang bahagia setelah kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan bagaimana nasib bagi yang terkena kutuk di akherat, tentu lebih sengsara.

Ibu… setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku. Suratmu akan kujadikan “jimat” dalam hidupku, setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu akan aku baca ulang kembali, tiap kali aku lengah darimu akan kutalqin diriku dengannya. Akan kusimpan dalam lubuk hatiku sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku. Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku bahwa ayah mereka dahulu pernah lalai dalam berbakti, lalu sadar dan kembali kepada kebenaran, ayah mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yang seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.

Tua… siapa yang tidak mengalami ketuaan, wahai Bunda!! Badanku yang saat ini tegap, rambutku hitam, kulitku kencang, akan datang suatu masa badan yang tegap itu akan ringkih dimakan usia, rambut yang hitam akan dipenuhi uban ditelan oleh masa dan kulit yang kencang itu akan menjadi keriput ditelan oleh zaman.

Burung elang yang terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yang tinggi, suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar dan diperebutkan oleh burung kecil lainnya. Singa si raja hutan yang selalu memangsa, jika telah tiba tuanya, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan. Tidak ada kekuasaan yang kekal, tidak ada kekayaan yang abadi, yang tersisa hanya amal baik atau amal buruk yang akan dipertanggungjawabkan.

Ibu, do’akan anakmu ini agar menjadi anak yang berbakti kepadamu di masa banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya. Angkatlah ke langit munajatmu untukku agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akherat.

Ibu… sesampainya suratku ini, insya Allah, tidak akan ada lagi air mata yang jatuh karena ulah anakmu, setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku denganmu, bahagiamu adalah bahagiaku, kesedihanmu adalah kesedihanku, tawamu adalah tawaku dan tangismu adalah tangisku. Aku berjanji untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya dan aku berharap aku dapat membahagiakanmu selama mataku masih berkedip.

Bahagiakanlah dirimu… buanglah segala kesedihan, cobalah tersenyum!! Ini kami, aku, istri, dan anak-anak sedang bersiap-siap untuk bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.

Salam hangat dari anakmu.

Surat Untukmu....

Ustad. Armen halim naro : Curahan hati sang ibu melalui surat kepada anaknya


Wahai anakku...
Kutulis risalah ini...dari tangan seorang ibu yang merana...
Yang ditulisnya dengan rasa malu... dalam kegelisahan dan lamanya penantian....
Lama dipegangnya pena ini... Hingga berlinang airmatanya....

Wahai anakku...
Telah senja kini usia ibu dan aku melihat dirimu telah beranjak dewasa...
Telah sempurna akal dan telah matang pikiranmu...anakku.
Diantara hak ibu...sudi kiranya engkau membaca suratku ini, namun bila engkau enggan wahai anakku...robeklah suratku ini sebagaimana engaku telah merobek-robek hati ibumu ini....

Wahai anakku...
Dua puluh lima tahun yang silam kebahagian paling besar kurasakan dalam hidupku...
Tatkala dokter mengabarkan kehamilanku...dan setiap ibu wahai anakku....sungguh telah mengetahui makna kalimat ini dengan baik.
Sungguh itu merupakan kebahagiaan dan kegembiraan, dan mulainya awal kepayahan dan perubahan dalam tubuhku...
Setelah berita gembira ini...
Ibu mengandungmu selama sembilan bulan dengan penuh kebahagiaan, aku bangkit, tidur, dan makan dengan penuh kesulitan dan akupun bernafas dengan kepayahan,namun...
Semua kesulitan dan kepayahan ini tidak mengurangi sedikitpun rasa cintaku padamu...dan sayangku padamu...
Bahkan cinta kasihku semakin bertambah padamu. Dengan berjalannya waktu kian bertambah besar rasa rinduku menanti kehadiranmu....
Aku mengandungmu anakku dengan penuh kepayahan... dan rasa sakit yang tiada terkira...
Betapa gembiranya diriku tatkala kurasakan kegembiraanmu...dan bertambah pula kebahagiaanku tatkala kurasakan betambahnya berat tubuhmu yang tentunya membuat berat bagi diriku....
Sungguh inilah kepayahan yang panjang kurasakan....

Datang malam-malam dimana aku tak dapat tertidur... dan kedua matakupun tak kuasa kupejamkan.... Anakku...
kurasakan sakit, kegelisahan, dan rasa takut yang mencekam yang tak bisa kuungkapkan dengan pena ini... dan kukatakan dengan ungkapan lisan.
Hingga aku melihat dengan kedua mataku seakan-akan kematian akan menjemput diriku sampai akhirnya... kamu terlahir kedunia.
Airmata kepedihanku terpancar bersamaan dengan jerit tangismu...
hilanglah rasa sakit dan kepedihan....

Wahai anakku...
telah berlalu masa-masa dimana aku meninabobokanmu di dadaku...
dan aku mandikan dirimu dengan kedua tanganku...
kujadikan pangkuanku sebagai ranjang bagimu dan susuanku sebagai makanan untukmu
Aku terjaga sepanjang malam agar kau dapat tertidur pulas...
dan aku berlelah disiang hari untuk kebahagiaan dirimu, kebahagiaanku...
tatkala kamu meminta sesuatu pada ibu dan segera kupenuhi pintamu...itulah puncak tertinggi kebahagiaanku....
Telah lewat malam-malam dan telah berlalu hari demi hari, demikian kulakukan semua itu untuk kebahagiaanmu, melayanimu sepenuhnya dan tidak melalaikanmu, menyusuimu tiada henti-hentinya dan merawatmu tanpa ada rasa kebosanan hingga bertambah besar tubuhmu...

Tibalah masa remajamu dan tanda-tanda kedewasaanpun telah tampak padamu. Hingga ibu mencarikan untukmu seorang wanita yang kamu inginkan untuk kau nikahi....
dan tibalah waktu pernikahanmu yang membuat sedih hatiku...
berlinang air mataku karena kebahagiaan dengan lembaran hidup barumu...
bercampur duka yang dalam karena aku berpisah denganmu.

Kemudian tibalah masa-masa yang amat berat bagi diriku, dimana kurasakan dirimu kini bukanlah buah hati yang kukenal.Sungguh engkau telah mengingkari diriku, melupakan hak-hakku.
Hari terus berlalu dan tidak pernah lagi kulihat dirimu, tidak pernah kudengar lembut suaramu, apakah kamu lupa kepada seorang wanita yang telah memeliharamu dengan penuh rasa cinta....

Wahai anakku...
aku tidak menuntut apa-apa darimu...
jadikanlah diriku layaknya sahabat yang kamu miliki. Jadikanlah diriku wahai buah hatiku salah satu tempat persinggahanmu yang senantiasa kamu kunjungi setiap bulan walau hanya sesaat.

Wahai anakku...
gemetar seluruh tubuhku, lemah kurasakan badanku karena sakit yang aku derita, berbagai penyakit silih berganti mampir padaku.
Aku tidak mampu berdiri melainkan dengan kesulitan dan aku tidak mampu untuk duduk melainkan dengan kepayahan dan senantiasa hati ini dipenuhi dengan rasa rindu akan cinta dan sayang padamu.

Apabila suatu saat ada orang yang memuliakan dirimu, niscaya kamu akan memujinya karena perlakuannya terhadap dirimu, dan kebaikan sikapnya pada dirimu.
Dan ibumu ini. wahai anakku...
lebih banyak berbuat kebaikan pada dirimu dan berlaku ma’ruf padamu hingga tidak dapat dibalas dengan apapun jua....
Ibu telah merawatmu, melayani semua kebutuhanmu bertahun-tahun lamanya. manakah balasanmu...?
Apakah setelah semua ini...hatimu menjadi keras? dan berlalunya waktu kian membuat dirimu jauh.

Wahai anakku...
acap kali aku mengetahui kau bahagia dalam hidupmu, bertambah pula kebahagiaan dan kegembiraanku.Namun betapa herannya ibu pada dirimu anakku...
yang telah kubesarkan dengan belaian kedua tanganku.
Dosa apakah yang telah kuperbuat hingga aku menjadi musuh bagimu...?
Engkau tidak mau menjengukku, beratkah langkah kakimu untuk mengunjungiku...?
Apakah aku melakukan suatu kesalahan pada dirimu?ataukah aku telah melakukan kelalaian dalam melayanimu...?
Jadikanlah diriku layaknya pelayan-pelayanmu yang engkau berikan upah kepada mereka....
Berikanlah aku sedikit saja dari rasa belas kasih dan sayangmu.

Berbuat baiklah pada diriku wahai anakku...
karena sesungguhnya Alloh akan memberikan balasan (kebaikan) orang yang berbuat baik....
Wahai anakku...
tidak ada yang kuinginkan didunia ini selain melihat wajahmu...
tidak ada yang kuingin selain itu, biarkanlah aku menatap wajahmu, meredakan amarahmu.

Wahai anakku...
bergetar keras degup jantungku, berlinang deras air mataku...
kulihat dirimu hidup bahagia tercukupi.
Senantiasa manusia memperbincangkan akan kebaikanmu, kedermawanan dan kemuliaanmu.

Wahai anakku...
apakah kiranya hatimu masih memiliki seberkas rasa belas kasih terhadap seorang wanita yang renta dan lemah ini?yang hatinya diliputi dengan kerinduan dan diselimuti dengan kesedihan.
Kamu telah membuat duka hatinya, membuat airmatanya berlinang, hancur hatinya, dan terputusnya hubungan...
Aku tidak akan mengadukan kepedihan ini dan belum terhapus kedukaan ini, karena bila naik menembus awan-awan dan mengetuk pintu-pintu langit, niscaya bala akan datang padamu, berbagai keburukan menghampirimu dan musibah besar akan menimpamu.
Tidak...
tidak akan mungkin aku lakukan hal tersebut wahai anakku, kamu akan senantiasa menjadi buah hatiku penyejuk pendengaranku dan kebahagiaan duniaku

Sadarlah anakku...
rambut putihmu mulia tampak, telah berlalu waktu dan masa yang panjang menjadikan dirimu mulai menua.
Anakku...
bukankah balasan itu sesuai dengan perbuatan....
Niscaya kamu akan menulis surat ini kepada anakmu dengan linangan airmata sebagaimana aku menulis surat ini untukmu.

Wahai anakku...
takutlah kepada Alloh...
hentikanlah tangisnya, hapuslah kedukaannya.Setelah itu, jika kau inginkan sobeklah suratnya...
dan ketahuilah anakku “Barangsiapa yang mengamalkan kebaikan maka kebaikan itu untuknya dan barangsiapa yang berbuat keburukan maka keburukan itu akan kembali padanya....”


(bersambung....balasan dari sang anak)

Selasa, 23 Maret 2010

PENYESALAN quwh....-_-

Qta adlh satu...
Apapun yg trjd pd qt,ikatan darah kita takkan pernah hilang...

Tp, mngpa hrs ada jurang pemisah antra qt..
Mngpa dirimu hrs memilih jln i2?
Seandainya dulu aq bs sedikit lbh paham,tak akan q relakan kau prgi...
Tp nyatanya dulu aq jg mendukung sgla keputusanmu...
Bhkan bodohnya aq sampai mw2nya menjadi saksi mata dirimu menyandang status m*rt*d....

Ya ALLOH... maafknlh atas kebodohan q dimasa lalu...
Aq msh ingn brsma mrk...
Aq rindu saat2 sholat berjamaah brsma mrk...



(selasa,230310)

Harapanku Perlahan Hampir Menjadi Kenyataan

Subhanallah...

Perubahan i2 mulai terlihat...

Cahaya i2 mulai bersinar...

Harapan i2 pelahan mulai menuju kenytaan...

Trnyta bnr kta org,
ubahlh dirimu sblum merubh org lain.
Dan kini hasilnya pun trliht...
Dakwah yg kau smpaikan akn begitu mudah ditrma kbnrnnya..

Ya ALLOH... trima kasih ats kado istmwa ini...
Perubhn kecil ini sangat brhrga utk q...
Mngkin klian menilai biasa sj, tp bgiku prjuangn utk mnggapai ini tdklh mudh...

"Ya ALLOH...aq ingin keSurga-MU bersama dgn keluarga q"




(manado,220310)

Kamis, 18 Maret 2010

Teruntuk yang Menamakan Dirinya Aktivis Dakwah

AssaLamu’aLaikum warahmatuLLahi wabarakatuh…

Hai Muslimah...
Bagaimana harimu?
Menyenangkan?
Semoga begitu…

Pagi ini, ketika kusibakkan tirai jendela kamarku, sang mentari menyapa ramah dengan sinar sejuknya. Seakan dia tahu kegilisahan yang mendera hatiku sejak sore.....

Bagaimana tidak?
Aku adalah seorang muslimah berjilbab yang selama ini berusaha ikhlas berdakwah. Aku selalu berusaha ikhlas menjaga kebersihan hati. Aku pun selalu menjaga agar suaraku, tingkah lakuku dan sikapku tidak menimbulkan virus cinta kaum Adam. Aku adalah orang yang selalu bercermin pada kegagalan untuk meraikh kemenangan. Aku selalu berusaha memberi yang terbaik untuk jalan dakwah ini. Tetapi mengapa aku harus digugat?Mengapa meksi datang padaku sepucuk surat yang membuat aku terasa tertohok, pas di ulu hati?

Tulisan tangan yang kuakui sangat lemah, bahkan cenderung artistik itu benar-benar menorehkan luka hati.
Nyeri..
Perih..
Bak sembilu menyayat-nyayat..
Surat itu anonim.
Awalnya aku menganggap seorang pengecut telah berani menyambangiku. Tapi isinya, kau mau tahu apa yang tertera diatas selembar kertas putih bergambar bunga mawar pada sudutnya itu?

Simaklah...

"Saudariku sayang...,
Bagaimana mungkin engkau sampai terperdaya....
Kiramu.., engkau telah menjadi bunga Islam terpelihara.
Durimu tajam, kau pun (merasa) tumbuh di rimba...
Tapi, siapa dapat menghalangi diri dari wewangi dirimu...?
Siapa dapat mencegah diri dari indah menatapmu....?

Sungguh..,
Engkau telah terperdaya...!
Berkali-kali kubaca ulang. Mencoba membuat diri objektif. Tapi hasilnya sama saja, hatiku sakit. Sakit sekali!!! Tapi pagi ini, kucoba untuk merenung. Introspeksi. Evaluasi atas perjalanan hari-hariku.
Bukankah seseorang yang berjiwa besar itu harus mampu menerima perlakuan yang paling pahit sekalipun? Aku ingin mulai. MUlai mengaca diri.

Siapa sih aku? Selama ini aku telah mencoba keras meresapkan dalam dasar hatiku yang paling dalam bahwa aku adalah seorang hamba Allah. Itu selalu dan harus selalu kuingat. Sehingga dalam setiap aktifitas yang kulakukan, prinsip "LIllah-Billah-ilallah" selalu kucamkan. Itulah motto hidupku. Tapi sejauh mana aku berhasil..?

Aku merasa telah mengoreksi niatku. Tak ada yang salah. Aku yakin, hatiku bersih. Teman-teman aktifis dakwa dikampus telah paham sengan prinsipku ini. Aku akan menjadi orang pertama yang marah besar, manakala kudengar selentingan tentang kisah romantisme antar aktifis. Aku selalu berkata dengan gagah dihadapan adik-adik dan teman sejawatku, "Saya butuh orang yang berhati bersih dalam bekerja. Buang dan singkirkan setiap niat kotor. Saya benci bila aktifis dakwah dikotori dengan hati yang bengkok. Pastikan hati kalian bersih dalam setiap interaksi. Ingat itu! ini medan yang keras, saudariku. Jangan engkau terperosok dalam lubang-lubang cinta yang diciptakan syaithon bila engkau tidak dapat menjaga hatimu, tinggalkan saja medan dikampus atau segeralah menikah!" Vulgar. BArangkali itu kesanmu, wahai muslimah. Tapi itulah aku. Pengalaman telah mengajarkan kepadaku bersikap "keras".

Lalu, mengapa ia menyebutku terperdaya? Kalau iya, terperdaya oleh apa? Mana buktinya? Aneh rasanya bila menyebut diriku terperdaya oleh virus cinta! Kalaupun selama ini aku berinteraksi dengan rekan-rekan pria, semua itu murni urusan dakwah! Sungguh! KArena alasan itu pula, terkadang aku harus berdiskusi dan bertukar pikiran dengan mereka.

Kuakui, aku cenderung lebih sreg untuk bertukar pendapat dengan mereka yang lebih rasional dan realistis ketimbang kepada aktifis putri yang lebih banyak menggunakan pertimbangan perasaan dan tidak antisipatif dalam mengambil keputusan.

Wahai kaumku, tahukah engkau betapa besar perhatianku pada dakwah ini? TAhukah engkau, bahwa masalah pembinaan adik-adik kelas, program kerja yang matang, penempatan porsonil yang tepat, seleksi porsonil untuk garda depan, kordinasi kerja yang baik, selalu menjadi perhatian utamaku? Itulah sebabnya, kadang aku sampai menjelang isya di kampus. Itula sebabnya kadang kubiarkan rekan-rekan putra mengawalku pulang kerumah.

Meskipun aku sering terlibat diskusi, tapi ketahuilah tak ada topik lain kecuali masalah dakwah, dakwah dan hanya dakwah! Urusan dakwahlah dan semata-mata kerena kerja di jalan Allah-lah yang membuat aku menjalin hubungan dekat dengan beberapa rekan putra. Aku selalu menghindari pembicaraan yang mengarah pada persoalan pribadi. dalam rapat pun, bila pembicaraan sudah menyimpang (mulai di bumui dengan canda ria dan hal-hal yang tidak perlu) pasti aku intrupsi. Dalam setiap pembicaraan aku selalu menyiapkan agenda, hingga tak bertele-tele.

Sesungguhnya aku memang takut. Takut terjangkit virus cinta. AKu memilih sikap preventif daripada kelak harus mengobati. Kupikir, itulah cara terbaik untuk menjadi prajuritNya yang ikhlas dijalan mulia ini. Aku telah memakai caraMu, Ya Allah! Tapi, mengapa aku masih digugat?

Kucoba lagi menelusuri hari-hari yang telah kulalui. Bersih indah. Penuh semangat, full inovasi dan kreasi. Ah, hari-hariku kurasakan selalu lebih baik dari dari sebelumnya. AKu yakin itu. Seberapa besar?

Ah, ini pertanyaan yang selalu menyentak nuraniku. Seberapa besar, yah seberapa besar keyakinanku bahwa hari-hariku selalu bersih. DIbalik itu semua, ada satu pertanyaan yang selama ini selalu kutepis. pertanyaan tentang, "Bila kau dapat berusaha keras menjaga kebersihan hatimu, siapa yang dapat menjamin bahwa mereka (rekan-rekan putra) pun berusaha keras menjaga kebersihan hatinya? Tidakkah virus itu dapat menjangkiti hati mereka, lalu menularinya padamu..?

Ah, aku memang buta. Selama ini aku bersikeras pada sikap ngeyel: yang penting hatiku bersih. Dan bila hatimu kotor, itu urusanmu! seharusnya aku tidak bisa bersikap cuek bebek seperti itu. Bukankah aku sering terkena dampak kekotoran hati mereka?

Bukankah kadang aku tertatih-tatih menata hatiku manakala datang ujianMu? Bukankah aku sering menghilang dari medan untuk meredakan gejolak hati? Bukankah sering kudengar bisik-bisik takut bahwa Akh Fulan simpatik pada ukhti dengan tipe sepertiku? BAhwa Akh Anu ingin mempunyai pendamping yang memiliki kepribadian sepertiku dan sebagainya.

Aku memang buta. Aku telah terperdaya! Aku telah menyebarkan 'penyakit' sambil tak peduli pada keadaan 'si sakit' hanya karena aku merasa aman-aman saja. Aku lupa bahwa hati laki-laki itupun penuh rahasia seperti halnya hati kaum kita, perempuan.

Aku lupa bahwa masalah hati adalah subjektif. Benar adanya bahwa laki-laki suka pada kelembutan dan kemanjaan. Tapi siapa dapat melarang bila ada hati laku-laki yang justru cenderung pada sikap tegas dan tegar. Benar adanya bahwa laki-laki tersanjung bila ditempatkan pada posisi dimintai tolong dan perlindungan. Tapi, siapa yang dapat menyalahkan bila ada hati laki-laki yang lebih kepincut pada sikap mandiri dan penuh tanggung jawab

Wahai kaumku, kusadari diri telah terperdaya. Syaithan telah membisikkan rasa 'aman' dari bahaya virus cinta padaku dengan amat berlebihan. Syaithon telah menbuat aku tidak peduli pada andilku dalam mengotori hati orang lain. Tak ada yang dapat kulakukan sekarang kecuali segera berbenah diri! berlepas diri dari masalah dan pergi meninggalkan medan dakwah bukanlah sikap terpuji. Aku hanya perlu bersikap wasathan. Sederhana dan pertengahan. Kupikir tak ada salahnya meninjau kembali agenda aktifitasku di kampus. mengurangi intensitas pertemuan dengan rekan putra, mengerem sikap 'suhu' dan 'bossy' yang menonjol dalam pribadiku yang paling penting adalah menguatkan kembali hubungan hatiku dengan Allah.

Perenungan pagi ini membuat hatiku lebih tenang. Aku berterima kasih padaMu, YA Allah yang telah menggerakkan tangan seseorang untuk menggoreskan surat teguran. Untukmu, wahai kaumku, kuharap engkaupun dapat memetik hikmah dam pelajaran dari sini.

Sering kita lupa bahwa syaithan adalah musuh yang licik, hingga kita terperdaya oleh bujuk rayunya. Tak salahlah bila berkali-kali Allah memperingatkan agar waspada dari jebakannya. "..dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithon, karena sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagimu" (QS. 2:108). Bila dilihatnya kita banyak melakukan amal shalih, dihembuskanlah dalam hati sikap riya', hingga rusak amal shalih tersebut. Bila ditemuinya kita dalam keadaan tenang dan berserah diri pada Allah, dibisikkanlah rasa was-was dan gelisah dalam hati kita. "Dialah yang membisikkan rasa was-was kedalam hati manusia" (An NAas: 5). Dan bila dilihatnya kita dapat membentengi diri dari virus cinta, maka ditebarkan virus tersebut pada kaum laki-laki sehingga rusaklah jalinan hubungan yang suci semata-mata karena Allah. Oleh karena itu, camkanlah selalu bahwa syaithan adalah musuh yang harus diperangi!

Saling mengingatkan dan menasehati di jalan Allah hendaknya selalu ditegakkan. Adalah salah besar biala kita berprinsip: yang penting aku tidak seperti itu! Kita tidak bisa merasa aman dari perbuatan dosa seraya meninggalkan saudara-saudara pada perbuatan tercelah. Ini namanya egois! Tidakkah kita ingin menikmati (syurga) insya Allah bersama-sama dengan teman seperjuangan??

Virus cinta itu kejam. Dia akan meninggalkan penderitanya tergolek lemah tak berdaya, sibuk dnegan angan-angan, tergelam dalam khayal, sambil melupakan amal shalih. Karena itu, bekerjasamalah dalam menghadapinya! "Saling menasehati dalam kebenaran, kesabaran, juga dalam rasa kasih sayang"

Sebagai perempuan berangkali kita harus berupaya keras menutup celah yang memberi peluang bagi masuknya virus cinta. salah satunya, seperti yang Allah peringatkan dalam Al qur'an...: "maka janganlah kamu lemah dan tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya. Dan Ucapkanlah perkataan yang baik" (Al Azhab: 32). JUga dalam intensitas pertemuan, mejaga padangan dan adab-adab pergaulan Islami.

Saling menularkan kebersihan hati melalui menghidupkan majelis-majelis ruhiyah juga penting untuk diperhatikan. Memperbanyak dzikrullah, tilawah dan tadabbur ayat-ayat Allah. Ingatlah batin yang kuat sumber motivasi bagi aktifitas fisik. Bagaimana mungkin para aktifis dapat selalu full semangat dan motivasi dalam beramal jika hatinya kotor dan dipenuhi keinginan yang belum waktunya?

Wahai muslimah...
Aku merasa malu, karena sempat tertohok dan sakit hati atas teguran itu. Tapi hatiku kini telah tenang. Aku siap untuk memperbaiki diri. Aku ingin selalu membersihkan hati dan membantu saudara-saudaraku dalam mebersihkan hati mereka. Bagaimana denganmu...??

-diketik ulang oleh uF^ dari majalah Ummi edisi 2 tahun 97-
Bandung, 11 Rabul Awwal 1431 H

-Sebuah nasehat untuk mereka yang telah memilih jalan yang mulia ini, jalan para Nabi dan RasulNya yaitu dakwah ilallah...-

Selasa, 16 Maret 2010

Pesan-pesan Terakhir di Wall FB Teman Ketika Meninggal Dunia

Menulis ucapan selamat ultah di wall teman itu: sudah biasa! Mengucapakan hepi merit buat teman yang baru menikah: itu biasa! Menuliskan lafazh doa kesembuhan di dinding FB teman saat dia sakit: itu bagus sekali! Tapi! Apa yang akan menghiasi wall FB seseorang saat dia telah meninggal dunia?

Sob...note ini berisi pesan-pesan di wall Fb seseorang yang telah meninggal dunia.

”Bro, mata berkaca-kaca ketika menggoreskan testimoni ini. Pertemuan terakhir di rumahmu, rupanya pertemuan terakhir kita. Permintaan agar foto-foto terakhir dipublikasi sudah aku lakukan beberapa waktu lalu. Menghadaplah saudaraku dengan tenang dihadapan-Nya. Aku ingat kata-kata filosof Schopenhauer, “Mengantuk nyaman, tetapi meninggal lebih nyaman, dan yang lebih nyaman dari segala yang nyaman adalah ketiadaan hidup.” Semoga dirimu nyaman dipangkuan-Nya.”

Sebelum ”kata perpisahan” di atas, sudah ada puluhan komentar serupa. Diantara komentar yang banyak itu akan saya pilih empat pesan perpisahan dari sahabat-sahabatnya berikut ini….

”Kanda …Selamat Jalan… meski tdak sempat aku berucap, ajaran2-mu dalam NOTE dan STATUS yang selama ini kanda tulis tetap menghias aroma jalan pikiranku…selamat jalan kanda…Alloh selalu membingkai kekasih-Nya dalam dekapan yang Damai dan Sayang…Untuk mbak dan anak2mu. Semoga Sabar dan Ikhlas…Amien.”
Selanjutnya, rekan yang lain menulis kata-kata terakhirnya begini:

“Selamat jalan Mas…makasih mas sempat mempertemukan aku dengan si dia di FB, padahal mas sedang terbaring sakit. Sedihku kehilangan seorang kakak…istrimu akan mengenangmu sebagai suami yang baik dan penyayang..juga anak-anakmu yang selalu mengidolakan Bapaknya sampai kapan pun. Allah sudah memelukmu, menempatkanmu di tempat terbaik…doa dan airmataku mengantarmu….:).”

Sementara itu, rekan FB berikutnya menyatakan dukanya...

“Teman yang baik……kami kehilanganmu…..memang kita semua akan saling kehilangan…..namun tetap saja kepergianmu yang tiba-tiba menghadirkan kepahitan & kehampaan yang dalam…..kami ikhlas melepasmu namun kami tetap kehilangan…….selamat ja…lan teman…..semoga Pemilikmu menerima kembali dirimu dgn penuh kasih sesuai dengan sifat Rahman & Rahim-Nya…amin ya robbal alamin….”

Akhirnya, semua rekan bersaksi:

“Tinggi, besar, gelap, brewokan. Pada pandangan pertama, bisa jadi orang akan menilai dia adalah orang yang brangasan. Tapi setelah ngobrol, yang kelihatan adalah kelembutan hati. Bicaranya juga nggak menggelegar sebagaimana bodimu, walau kadang muncu…l kata ASU yang terpaksa, sebagaimana aku lihat di statusmu. Kepada teman-teman, juga juniormu, kamu sebarkan sayang. Selamat menempuh perjalanan baru, Mas, di Desa......”

***

Yang saya bayangkan, andaikata mengalami hal serupa: meninggal dunia. Apakah roh saya yang sudah keluar dari jasad itu dapat membaca pesan-pesan yang ditinggalkan para sahabat-sahabat tercinta? Wallahualam Bi Shawab.

Karena belum pernah mengalami kematian, terus terang saja untuk pertanyaan itu sulit dijawab. Hanya Tuhanlah yang tahu soal tersebut. Kalau seandainya saya bisa membaca pesan-pesan yang ditinggalkan para sahabat itu, berarti pula roh saya bisa mengoperasikan komputer (menulis email berikut password untuk membuka akun FB)?

Namun demikian, bukan semata-mata itu persoalannya. Bagi kita sebagai salah seorang sahabatnya, menulis pesan di dinding FB itu sebagai sinyal dan bentuk perhatian tulus agar pihak keluarga yang ditinggalkan membaca pesan-pesan yang dituliskan itu. Sebagai bentuk perasaan ikut berduka cita.

Sejatinya pula, apabila dicermati pesan-pesan tersebut hampir 99 % berupa doa. “Saya turut berduka cita.” Lalu ditimpali kalimat berikutnya, “Semoga arwahnya diterima disisi Tuhan, dan diberikan tempat baginya di surga….” Dan kalimat-kalimat sejenis lainnya.

Ada yang menarik perihal doa-doa yang kita panjatkan tersebut. Saya akan meminjam kata-kata bijak : Doa-doa yang kita panjatkan bagi seseorang yang meninggal sebetulnya bukan sekedar doa. Melainkan juga cita-cita kita. Kita ingin kembali ketempat yang layak di sisi Tuhan kelak. Makanya, aneh juga ya kita ini. Kita berdoa begitu untuk orang yang meninggal. Tapi, kita suka lupa bahwa doa itu hanya akan dikabulkan jika orang yang kita doakan memang orang baik.

Jika dia bukan orang baik; memangnya kita ini sesakti apa sehingga Tuhan mau mendengarkan doa kita? Apalagi jika doa itu kita ucapkan hanya sekedar basa-basi belaka.

Sebaliknya, orang-orang baik yang meninggal. Meskipun kita tidak berdoa kepada Tuhan supaya Dia memberinya tempat paling mulia: dia tetap saja akan mendapatkan tempat mulia itu. Sebab, memang dasarnya dia orang baik. Dan memenuhi syarat untuk mendapatkan kemuliaan disisin Tuhan. Semoga pula demikian halnya dengan sahabat baik yang telah wafat di atas.

Lantas, bagaimana seandainya yang mati itu bukan orang yang kita doakan; melainkan diri kita sendiri? Apakah doa orang lain akan sanggup merayu Tuhan supaya memberi kita tempat yang layak? Ataukah, perilaku baik kita selama hidup yang menentukan?

Pertanyan-pertanyaan terakhir ini sebagai pekerjaan rumah. Sebagai bahan refleksi. Untuk pembaca renungkan dan dicari sendiri jawabannya….